Dalam Seminar Loa Kulu Ternyata Kaya Akan Warisan Budaya
Pusat Informasi Desa Jembayan Dalam, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur – Siapa sangka kecamatan Loa Kulu memiliki sejarah yang kaya, mulai dari sejarah kerajaan dan pertambangan batu bara hingga kolonialisme Belanda dan Jepang. Loa Kulu juga kaya akan warisan budaya, salah satunya adalah situs cagar budaya pamerangan berupa makam raja-raja.
Karena itulah Supriyanto menulis buku Loa Kulu di Catatan. Berbicara dalam seminar buku di Hotel Grand Elty Singgasana Tenggarong, Tenggarong, Kamis (24/1), Supriyanto mengungkapkan keprihatinannya terhadap warisan budaya Loa Kulu yang semakin menipis karena kurang dirawat.
“Loa Kulu dulunya kota terbesar, bahkan kota tersibuk di Kalimantan Timur. Loa Guru dikenal sebagai kota metropolitan. Pasar, pabrik semen, pelabuhan, semuanya ada di Loa Kulu. Jejak sejarah masih bisa ditelusuri, ” kata Supriyanto.
Loa Kulu merupakan daerah yang kaya akan hasil tambang batu bara, katanya. Karena kekayaan daerah pertambangan Loa Kulu, penjajah Belanda dan Jepang berjuang untuk menguasai tanah Loa Kulu. Loa Kulu pernah menjadi produsen batubara terbesar di Nusantara pada masa penjajahan Belanda, menambang selama kurang lebih 75 tahun.
Sehingga Loa Kulu cukup dikenal hingga mancanegara saat itu. Sebelum Samarinda dan Balikpapan menjadi kota besar, Loa Kulu lebih dulu menjadi kota besar pada masa jayanya. Dari tahun 1971 hingga 1974, Loa Kulu mengalami kemunduran. Sekarang Loa Kulu adalah sebuah desa dan ada yang menyebutnya kota tua.
Selain memperkenalkan penulis, workshop Buku Loa Kulu dalam Catatan yang dipandu oleh Nala Arung juga memperkenalkan beberapa pejabat dan penggiat literasi dari provinsi dan daerah. Syafruddin Pernyata, mantan direktur Pariwisata Kalimantan Timur dan penulis, juga hadir dalam seminar tersebut.
“Saya setuju dengan saudara penulis (Supriyanto) bahwa Loa Kulu tidak bisa dilupakan. Dia memiliki gua dan beberapa situs sejarah. Loa Kulu bisa menjadi tujuan wisata Kukar,” kata Syafruddin.
Oleh karena itu, lanjutnya, warga tidak hanya melakukan perjalanan dari Tenggarong ke Pulau Kumara, Museum Murawaman, Waduk Panji hingga Radaya. Mereka juga bisa menuju ke Loa Kulu untuk menjelajahi berbagai situs sejarah.